Minggu, 28 April 2013

KETIKA AKU HARUS MENULIS PUISI TENTANG AYAH


Langkah  kaki yang begitu lambat  terdengar bagaikan suara dentuman jarum jam di malam yang hening. Langkah itu semakin lama terdengar  semakin  keras hingga aku yakin bahwa itu adalah langkah kaki guru bahasa indonesiaku, Bu Isna. Teman-teman sekelasku yang semula ramai seketika itu langsung terdiam dan menatap ke arah datangnya suara.
            “S…………t, teman-teman…… Ada Bu Isna, ayo cepat kalian kembali ke tampat duduk masing-masing!”
Ketua kelasku segera mengintruksikan teman-teman yang lain agar segara duduk di tempat duduk masing- masing karena beberapa di antara mereka ada yang berdiri,bahkan ada yang berkeliaran di bangku temannya yang lain.Ketika suasana sudah mulai tenang, bu Isna pun masuk kelas dengan senyum yang begitu menawan.
            “Selamat pagi Anak-anak……?  Sapa bu Isna pada kami.
            “Pagi Bu………” Kami serempak menjawab sapaan bu Isna
            “Baiklah anak-anak, kali ini Ibu akan memberi tugas pada kalian” Aku dan teman-temanku terbelalak mendengar kata-kata bu Isna. Baru masuk kelas sudah ngomongin tugas.
            “Tugas kalian adalah membuat puisi. Nanti yang puisinya paling bagus akan ibu seleksi lagi dengan puisi anak-anak dari kelas lain”
            “Seleksi untuk apa Bu?” Akupun memberanikan diri untuk bertanya.
            “Seleksi untuk mengikuti lomba penulisan puisi tingkat SMP se Kabupaten. Nanti di sana kalian  akan bertemu dengan teman-teman kalian dari SMP lain. Sekarang ibu minta kalian semua keluar kelas. Kita cari tempat yang sejuk dan nyaman agar kalian bisa mencari imejanasi”
Kami pun segera keluar kelas dan mencari tempat yang teduh. Akhirnya kami memilih di dekat lapangan baket. Kebetulan di sana sangat rindang. Beberapa pohon tumbuh subur disana sehingga suasananya terasa sejuk dan nyaman seperti yang dikatakaan Bu Isna.
            “Anak-anak, kalian bisa mencari tempat duduk sesuka kalian. Kemudian kalian bisa mulai menulis pisi sesuka kalian. Kalian bebas memilih tema apa saja yang kalian suka. Ibu member kalian waktu 30 menit”
            “30 menit?,” Semua tercengang kaget. Kami merasa waktu itu sangatlah singkat untuk membuat puisi. Karena membuat puisi itu tidaklah mudah, apalagi bagi yangtidak suka dengan dunia tulis menulis.
            “Ya. Ibu rasa waktu itu cukup panjang untuk menulis puisi”
            “Tapi Bu……..”
            “Tidak ada tapi-tapian. Setelah itu Ibu akan segera menyeleksi puisi kalian agar seleksi antarkelas bisa segera dilakukan”
Kami tak berani membantah perintah Bu Isna. Walaupun menurut kami waktu itu sangatlah kurang, tapi kami mencoba memanfaatkan waktu yang ada untuk mencari imajinasi agar puisi yang kami buat memiliki unsure estetika tinggi.
Aku mulai memutar otak mencari sebuah tema yang dapat membangun imajinasiku. Aku mencoba melihat ke sekelilingku.Terlihat wajah teman-temanku yang nampak sangat serius. Mereka mulai memerankan bolpoin selihai mungkin.Kucoba mendongakkan kepala ke atas, Kulihat beberapa burung saling berkejar-kejaran bak sepasang kekasih yang sedang menuai asmara. Namun aku belum juga menemukan tema yang pas untuk puisiku. Aku melirik jam tangan milik temanku yang duduk tepat di sampingku. Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Dan sisa waktu yang kumiliki tinggal 15 menit.
Aku kembali mengernyitkan dahi. Kupandangi kekat-lekat sebuah sebuah pohon yang berada tepat di depanku hingga akhirnya aku memperoleh tema yang pas untuk puisiku, Akupun mulai mamainkan penaku. Membiarkannya menari di atas kertas, menggoreskan tinta baris demi baris.Waktupun segera berlalu, bu Isna segera menginstruksikan kepada kami untuk mengumpulkan puisi yang telah kami buat. Dan aku akhirnya mengumpulkaan sebuah puisi yang berjudul “Tangisan Sang Bunga Malam”. Puisi itu menceritakan tentang kehidupan malam para pekerja rumah hiburan yang merasa terhimpit antara dosa dan ketidak berdayaan.
Setelah itu kami pun kembali ke kelas. Dan sesuai janji, Bu Isna langsung menyeleksi puisi-puisi tersebut di ruang guru bersama guru bahasa Indonesia yang lain. Hingga waktu istirahat kedua tiba, bu Isna kembali masuk ke kelasku.
            “Mohon perhatiannya sebentar anak-anak, Ibu akan mengumumkan hasil puisi kemarin” Bu Isna terlihat sangat serius , dan kami pun menanggapinya dengan serius pula.
            “Berdasarkan atas kesepakatan semua guru bahasa Indonesia, Akhirnya kami memutuskan kelas ini yang akan mewakili lomba penulisan puisi di tngkat kabupaten”
            “Hore…….” Kami pun bersorak ramai meskipun kami belum tahu siapa yang akan maju ke kabupatan nanti.
            “Tenag dulu anak-anak, Ibu kan belum mengumumkan siapa yang berhasil memenangkan seleksi ini”
            “Iya Bu, Siapa yang menang” Kami begitu tak sabar, kami mendesak bu Isna untuk segera mengumumkan.
            “Baiklah, Yang berhak maju ke tingkat kabupaten adalah……………” Karena bicaranya dipotong- potong kami menjadi semakin penasaran.
            “Dias………... Tepuk tangan untuk dias!”
Aku tercengang setengah tak sadar mendengar namaku disebut Aku sungguh tak perceya kalau yang disebut adalah namaku. Teman-temanku bersorak ramai. Mereka bertepuk tangan dengan sangat riang. Tapi aku masih saja tak percaya. Ini seperti sebuah mimpi. Aku mencubit pipiku sendiri, “au” ternyata sakit. Ternyata ini bukanlah mimpi, ini kenyataan.
Semiggu setelah pengumuman itu aku benar-benar mengikuti lomba di kabupaten. Aku tak punya persiapan apa-apa. Aku sebenarnya tak begitu paham tentang dunia puisi. Yang kulakukan selama seminggu hanyalah mencari ispirasi dan mencoba menuiskan puisi di beberapa kertas. Tak ada persiapan yang sangat sepesial.
Di sini aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Ada yang pernah menjuarai lomba puisi tingkat SD se- Pofinsi. Bahakn ada yang sudah pernah membukukan beberapa kumpulan puisinya. Tapi kesemuanya itu sama sekali tak menciutkan semangatku. Aku tetap parcaya diri bahwa di atas langit masih ada langit lagi.
Lomba pun segera di mulai. Waktu yang ditentukan adalah 30 menit. Sama dengan waktu yang diberikan bu Isna kemarin. Yang berbeda adalah tempatnya. Kalau kemarin aku menulis di sebuah tempat yang sangat nyaman dan mudah memusatkan konsentrasi, sekarang aku di tempatkan di sebuah ruangan yang tertutup yang menurutku membuat suasana jadi penat. Meskipun di ruangan ini dipasang AC bagiku itu tak berpangaruh, tetap saja terasa sumpek.
Sebelum lomba dimulai, masing-masing peserta dipersilakan maju ke depan untuk mengambil undian tema yang telah ditentukan panitia. Ini benar-benar di luar dugaanku. Kalau lombanya seperti ini apa mungkin aku bisa menuliskan puisi yang indah? Aku terus bergeming di dalam hati hingga namku pun di panggil. Hatiku berdebar-debar, Aku melangkah dengan kaki gemetaran. Keringat dingin bercucuran ketika aku mualai memilih undian. Dengan sangat hati-hati aku membuka gulungan kertas yang telah aku pilih. Pertama kali muncul adalah huruf A. Aku kembali menggulung kertas itu karena rasanya aku belum siap membacanya. Tapi perlahan aku buka kembali. Dan mataku langsung terbelalak membaca tulisan yang ditulis di kertas itu. Hanya tiga huruf namun seakan-akan kata itu mampu membunuh mentalku.
” Ayah?” Aku harus menulis puisi tentang ayah? Bagaimana mungkin? Aku sugguh tak percara. Rasanya ingin kurobek kertas itu. Tapi tidak. Aku harus menahan diri. Aku kembali ke tempat duduk setelah memberikan gulungan kertas itu kepada panitia. Aku benar-benar binung, aku kehilangan konsentrasi. Aku mempermainkan penaku, memutar-mutarnya hingga terjatuh di lantai. Segerakuraih kembali pena itu dan kutulis sebuah kata “Ayah” Pikiranku kembali kacau, aku sobek, aku cabik kertas itu, aku remas dan aku buang ke tempat sampah hingga berulang kali. Mungkin orang-orang yang duduk di dekatku merasa heran mengapa aku sampai seperti itu.
Aku mulai lelah, sedangkan waktu tak kan berhenti berputar. Aku mencoba melihat ke luar jendela. Kulihat beberapa pohon bergoyang mengikuti irama angin. Langit yang cerah kini tertutup oleh himpunan awan tabal. Hujan mengucur amat deras dan hawa dingin terasa semakin mencekam. Melihat fenomena itu aku segera teringat pada kisahku.
Ketika suara gemercik air yang yang mengalir dari sebuah pipa bambu merambat mengikuti gerakan udara.Menyusup masuk menyusuri rungan telinga bagian tengah hingga menggetarkan gendang telingaku dan merangsang syaraf-syaraf pendengaran.Otak pun tak kalah aktif  untuk menanggapi rangsang. Ia segera mengkonfirmasikan kepada mata agar perlahan dapat terbuka.
Ya,begitu cepat respon yang diberikan mata. Ruh yang semalaman meninggalkan tubuhku entah ke mana pagi itu kembali bersemayam di tubuhku. Aku pun segera terbangun dari tidur panjangku, tersadar dari mimpi-mimpiku yang sulit kutafsirkan sendiri. Entahlah, namanya mimpi terkadang ketika terbangun saja aku sudah lupa.
Aku segera menunaikan aktifitas rutinku di pagi hari yaitu sholat subuh. Aku tak kan melupakan itu karena ayahku selalu mengajarkankanku untuk menunaikan sholat lima waktu. Terkadang aku bingung, Mengapa ayah begitu menekankanku untuk menunaikan sholat, padahal sekedip mata pun tak pernah kulihat ayahku melakukan sholat.
Aku tak pernah menemukan sosok ayahku di pagi hari, bahkan malam hari pun tidak. Ayah hanya di rumah ketika siang hari saja. Jika menjelang malam dia pasti keluar entah kemana. Aku ingin sekali menanyakan kemana ia pergi, bahkan aku ingin sekali ikut. Aku takut sendirian terus di rumah. Tapi setiap aku ingin bertanya leherku tiba-tiba seperti tercekik. Pita suaraku seakan ikut terjepit di antara kerongkongan.
Pagi itu entah mengapa ayah sudah pulang. Dia membawa sebuah tas berwarna hitam yang digendongnya di punggung. Aku menyapanya lantas  mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku lihat raut muka ayah begitu masam. Guratan-guratan di wajahnya membuat ia terlihat lebih tua dari umurnya.
            “Ayah, Ayah dari mana saja? Tumben Ayah sudah pulang” Tanyaku pada ayah yang baru meletakkan tasnya di atas kasur.
            “Sudahlah kamu tidak usah Tanya urusan ayah. Itu bukan urusan kamu” Aku terdiam mendengar kata-kata ayah yang agak membentak.
Aku sudah paham apa maksut ayah berkata seperti itu. Dia pasti tak mau diganggu, mungkin ia sedang capek. Segera aku seduh kopi panas di dapur seperti layaknya seorang istri yang menyeduhkan kopi untuk suaminya tercinta. Aku memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan perempuan semenjak ibuku meninggal. Ketika itu aku masih berusia lima tahun. Dan kini usiaku hampir lima belas tahun. Aku mengantar segelas kopi ke kamar ayah dan menaruhnya di meja yang terletak di samping tempat tidur tempat ayah membaringkan tubuh tanpa berkata sepatah kata pun.
            “Kamu tidak sekolah Yas?” Ayah bertanya kepadaku ketika aku meletakkan kopi di meja.
            “Diyas mau berhenti sekolah saja Yah, Diyas mau bantu Ayah cari uang”
            “Apa? Kamu mau berhenti sekolah? Lantas kamu mau jadi apa?” Ayah mendongakkan kepala dan beranjak dari tempat tidurnya. Sedangkan aku hanya terdiam dan menunduk.
            “Apa yang ayah berikan selama ini kurang? Nada bicara ayah terdengar meninggi. Dan aku hanya geleng-geleng.
            “Lalu kenapa?, Kenapa kamu mau berhenti sekolah? Sudah merasa hebat, Iya?”
            “Untuk apa Diyas bersekolah kalau ujung-ujungnya juga cari uang. Buktinya ayah hanya lulusan SD, tapi ayah bisa cari uang”
            “Kamu jangan meniru Ayah. Masih banyak peluang pekerjaan lain yang jauh lebih baik dari pekerjaan ayah. Maka dari itu kamu harus tetap sekolah. Belajarlah yang rajin agr menjadi orang yang sukses”
            “Tapi kenapa Yah? Kenapa Diyas tidak boleh bekerja seperti Ayah? Memangnya apa pekerjaan Ayah sebenarnya?”
            “Kamu tidak usah tahu apa pekerjaan Ayah. Yang penting semua kebutuhan kamu tercukupi”
            “Tapi kenapa? “ Aku kmbali mendesak Ayah. Dan kini giliran ayah yang diam.
            “Apa Ayah selama ini berjudi? Atau………….” Belum selesai aku bertanya ayah sudah menyela perkataanku.
            “Tidak, ayah tak pernah berjudi. Tapi percayalah Diyas, semua ini ayah lakukan demi kamu. Ayah hanya ingin kamu menjadi orang yang sukses. Ayah ingin kamu mengenyam bangku sekolah selayaknya anak-anak seusiamu” Aku kembali terdiam merenungi kata-kata ayah.
            “Sekarang bersiap-siaplah berangkat sekolah jangan sampai kamu telat. Ambillah uang ini untuk membayar SPPmu yang sejak lima bulan lalu belum ayah bayarkan. Sisanya bisa kamu tabung untuk kebutuhan sekolah kamu. Ayah pergi dulu”
Aku menerima uang pemberian Ayah yang tanpa menghitung jumlahya. Nampaknya Ayah  sangat marah padaku. Setelah memberikan uang itu ayah langsung  pergi dengan meninggalkan tasnya di tempat tidur.
Aku segera tersadar dari lamunanku ketika seorang panitia memberiakan peringatan
            “Ayo, waktunya tinggal sepuluh menit”
Aku benar-benar bingung, sudah sekian banyak kartas terbuang percuma, namun sepatah kata pun tak kunjung kutuliskan. Waktu sepertinya tak bersahabat denganku,dia terus berputar tanpa menghiraukanku. Aku semakin terhimpit denagn situasi. Aku mencoba mencari bayangan lain tentang sosok ayah, namun aku malah balik bertanya pada hati kecilku. Sebenarnya seperti apakah sosok ayah yang akan kuceritakan? Haruskah aku menulis puisi tentang seseorang yang sulit kumengerti karakternya?
Hatiku kembali bergejolak, Tiba-tiba saja suasana terasa hening. Di depan mataku muncul sosok lelaki yang gagah dengan memegang sebuah balon. Lelaki itu mendekati anak kecil yang sedang menangis. Wajah anak itu persis seperti wajahku di wakyu kecil. Apa memang itu adalah aku di waktu kecil? Lalu siapakah lelaki yang bersamaku? Apakah dia ayah?.
            “Cup….cup……, jagoan ayah mengapa menangis?” Diulurkannya kedua tangannya padaku, Aku yang masih belepotan air mata segera berlari ke pelukannya. Dia pun segera memangguiku di atas pundaknya sambil memberikan sebuah balon udara berwarna biru.
            “Aku diejek teman-temanku, kata mereka aku tak punya ibu. Hik…hik…hik” Kataku sambil terus menangis
            “suadah-sudah, tidak usah menangis. Kan ada Ayah. Ayah bisa menjadi Ayah sekaligus ibu untuk Diayas”
            “Benar Yah?”
            “Iya. Makanya Diyas jangan sedih lagi ya!” Aku mengangguk kegirangan karena aku menemukan sosok ibu dalam diri ayah.
Kini aku hampir menuliskan sebuah kata tentang ayah dalam puisiku. Dia adalah ayah sekaligus ibuku. Ya kata itu yang kini ada dibenakku. Namun ketika aku hampir menulis kata itu. Sebuah bayangan masalalu kembali melintas di depan mataku.
Ketika itu malam begitu dingin dan hujan begitu deras. Aku berada di rumah Toni, temanku   yang rumahnya sangat jauh dari desaku. Sebenarnya aku tidak berniyat menginap disana, namun karena hujan sore aku memutuskan untuk menginap. Waktu itu tepat pukul dua belas malam, sayp-sayup aku mendengar suara keributan di luar ruah. Suara itu terdengar makin jelas dan membuatku semakin tak bisa tidur. Aku mendengar beberapa orang berkejar-kejaran dan diantara mereka ada yang berteriak.
            “Ayo kejar ke arah sana!” Teriakan itu disusul suara gemuruh hentakan kaki.
            “Kita cegat dari sebelah sini!”
Aku makin penasaran denagn suara-suara itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan keluar kamr. Rupanya seluruh penghuni rumah mendengar keributan itu dan ikut keluar kamar.
            “Ada apa to Pak, kok rebut-ribut di luar?” Kata ibu toni pada suaminya.
            “Bapak juga tidak tahu.Kalian tunggu di sini saja, biar bapak yang keluar rumah”
            “Toni ikut pak”
            “Saya juga ikut” Aku ikutan nimbrung.
            “baiklah, ayo kita keluar, kita cari tahu ada apa sebenarnya di luar sana” Kata ayah toni kepada aku dan toni.
Kami segera keluar rumah dan ikut mengejar kerumunan orang yang berlari ke arah hutan. Di antara kami adajuga bapak-bapak yang lain yang ikut mengejar kerumunan orang itu.
            “Sebenarnay ada apa to pak?” Tanya ayah Toni pada seorang bapak yang ikut bergabung dengan kami.
            “Saya juga kurang tahu pak” Jawab orang itu sambil terus berlari.
Ketika kami sudah dekat dengan kerumunan orang yang tadi kami kejar, kami makin mendengar teriakan mereka denagn jelas.
            “Maling…………..”
            “Maling…………..”
Kami pun semakin yakin bahwa yang dikejar oleh mereka itu adalah maling. Sampai di suatu tempat nampaknya maling itu mulai lelah dan ia pun tertangkap massa. Ia dihakimi oleh massa seenaknya meskipun ada beberapa orang berusaha mencegahnya. Karena penasaran, aku pun mendekat. Maling itu berpakaian serba hitam. Wajahnya juga ditutup dengan kain berwarna hitam. Maling itutampak sudah tak berdaya karena dihajar oleh massa. Salah seorang membuka tutup wajah maling itu dan menengadahkan wajahnya. Aku terhentak melihat wajah maling itu yang berlumuran darah. Kakiku terasa lemas dan tak dapat kurgerakan. Seketika Itu aku  berteriak.
            “Ayah…………..” Aku mencoba menolongnya, tapi aku tak sanggup melawan orang yang begitu banyak.
            “Berhenti! Jangan pukul ayahku, aku mohon………….” Aku berteriak dan memohon berulang kali hngga akhirnya mereka berhenti memukuli ayahku.
            “Ayah, bangun yah! Ini Diayas” Aku segera memeluk ayahku dan mencoba membangunkannya yang sedang terkapar lemah.
Perlahan ayahpun membuka matanya. Tanganya yang berlumuran darah mencoba mengelus pipiku
            “Diyas, maafkan ayah……….” Katanya dengan ketidak berdayaannya.
            “Mengapa ayah lakukan ini? Ternyata ini pekarjaan ayah selama ini? Yang tak pernah ayah beritahukan kepada Diayas?” Dalam keadaan seperti itu aku mash sempat memarahi ayah.
            “Maafkan ayah Diayas. Ayah hanya ingin membahagiakan kamu” Nafasnya mulai tersenagl-senagal dan bicaranya pun tak begitu jelas.
            “Ayah hanya ingin kamu sukses. Ayah tidak ingin kamu menjadi maling seperti ayah” Aku tak bisa membendung air mata meskipun aku adalah seorang laki-laki. Air mata yang tertampung di kelopak mataku tba-tiba mengucur sangat deras membanjiri pipiku.
            “Satu pesan ayah, janganlah kamu meniru jejak ayah”
            Kata-kata itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut ayah. Setelah mengucapkan kata-kata itu malaikat maut segera menjemputnya. Tangan yang membelai pipiku kini terlunglai lemas. Mulutnya menganga dan matanya pun terbuka lebar seakan dia begitu takut kepada kematian.
Bayangan itu kembali hilang seiring dengan suara bel yang menunjukkan waktu telah habis. Aku kembali meletakkan pena yang sejak tadi berada di tanganku. Kertas yang seharusnya berisi puisi tentang ayah kini malah basah oleh tetesan air mata. Aku benar-benar tak sanggup menuliskan puisi untuk ayah, karena itu hanya mengingatkanku pada masa lalu. Aku tak peduli walaupun aku tak bisa memenangkan lomba itu, atau aku harus dimarahi guru bahasa Indonesiaku sekalipun. Aku tak ingin mengungkapkan suatu apapun tentang ayah pada orang lain meskipun dengan puisi. Biarlah aku menjadikan ayah sebagai masa laluku sendiri.
Selesai

1 komentar:

  1. Casino games to play at: Slots casino sites, slot machines
    If you are looking to play 제주 출장안마 for the 서귀포 출장마사지 best slot machine games, casinos 인천광역 출장마사지 can be a good choice. These slots are some 청주 출장샵 of 목포 출장안마 the

    BalasHapus