Langkah kaki yang begitu lambat terdengar bagaikan suara dentuman jarum jam
di malam yang hening. Langkah itu semakin lama terdengar semakin
keras hingga aku yakin bahwa itu adalah langkah kaki guru bahasa
indonesiaku, Bu Isna. Teman-teman sekelasku yang semula ramai seketika itu
langsung terdiam dan menatap ke arah datangnya suara.
“S…………t, teman-teman…… Ada Bu Isna,
ayo cepat kalian kembali ke tampat duduk masing-masing!”
Ketua
kelasku segera mengintruksikan teman-teman yang lain agar segara duduk di
tempat duduk masing- masing karena beberapa di antara mereka ada yang
berdiri,bahkan ada yang berkeliaran di bangku temannya yang lain.Ketika suasana
sudah mulai tenang, bu Isna pun masuk kelas dengan senyum yang begitu menawan.
“Selamat pagi Anak-anak……? Sapa bu Isna pada kami.
“Pagi Bu………” Kami serempak menjawab
sapaan bu Isna
“Baiklah anak-anak, kali ini Ibu
akan memberi tugas pada kalian” Aku dan teman-temanku terbelalak mendengar
kata-kata bu Isna. Baru masuk kelas sudah ngomongin tugas.
“Tugas kalian adalah membuat puisi.
Nanti yang puisinya paling bagus akan ibu seleksi lagi dengan puisi anak-anak
dari kelas lain”
“Seleksi untuk apa Bu?” Akupun
memberanikan diri untuk bertanya.
“Seleksi untuk mengikuti lomba
penulisan puisi tingkat SMP se Kabupaten. Nanti di sana kalian akan bertemu dengan teman-teman kalian dari
SMP lain. Sekarang ibu minta kalian semua keluar kelas. Kita cari tempat yang
sejuk dan nyaman agar kalian bisa mencari imejanasi”
Kami
pun segera keluar kelas dan mencari tempat yang teduh. Akhirnya kami memilih di
dekat lapangan baket. Kebetulan di sana sangat rindang. Beberapa pohon tumbuh
subur disana sehingga suasananya terasa sejuk dan nyaman seperti yang
dikatakaan Bu Isna.
“Anak-anak, kalian bisa mencari
tempat duduk sesuka kalian. Kemudian kalian bisa mulai menulis pisi sesuka
kalian. Kalian bebas memilih tema apa saja yang kalian suka. Ibu member kalian
waktu 30 menit”
“30 menit?,” Semua tercengang kaget.
Kami merasa waktu itu sangatlah singkat untuk membuat puisi. Karena membuat
puisi itu tidaklah mudah, apalagi bagi yangtidak suka dengan dunia tulis
menulis.
“Ya. Ibu rasa waktu itu cukup
panjang untuk menulis puisi”
“Tapi Bu……..”
“Tidak ada tapi-tapian. Setelah itu
Ibu akan segera menyeleksi puisi kalian agar seleksi antarkelas bisa segera
dilakukan”
Kami
tak berani membantah perintah Bu Isna. Walaupun menurut kami waktu itu
sangatlah kurang, tapi kami mencoba memanfaatkan waktu yang ada untuk mencari
imajinasi agar puisi yang kami buat memiliki unsure estetika tinggi.
Aku
mulai memutar otak mencari sebuah tema yang dapat membangun imajinasiku. Aku
mencoba melihat ke sekelilingku.Terlihat wajah teman-temanku yang nampak sangat
serius. Mereka mulai memerankan bolpoin selihai mungkin.Kucoba mendongakkan
kepala ke atas, Kulihat beberapa burung saling berkejar-kejaran bak sepasang
kekasih yang sedang menuai asmara. Namun aku belum juga menemukan tema yang pas
untuk puisiku. Aku melirik jam tangan milik temanku yang duduk tepat di
sampingku. Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Dan sisa waktu yang kumiliki
tinggal 15 menit.
Aku
kembali mengernyitkan dahi. Kupandangi kekat-lekat sebuah sebuah pohon yang
berada tepat di depanku hingga akhirnya aku memperoleh tema yang pas untuk
puisiku, Akupun mulai mamainkan penaku. Membiarkannya menari di atas kertas,
menggoreskan tinta baris demi baris.Waktupun segera berlalu, bu Isna segera
menginstruksikan kepada kami untuk mengumpulkan puisi yang telah kami buat. Dan
aku akhirnya mengumpulkaan sebuah puisi yang berjudul “Tangisan Sang Bunga
Malam”. Puisi itu menceritakan tentang kehidupan malam para pekerja rumah
hiburan yang merasa terhimpit antara dosa dan ketidak berdayaan.
Setelah
itu kami pun kembali ke kelas. Dan sesuai janji, Bu Isna langsung menyeleksi
puisi-puisi tersebut di ruang guru bersama guru bahasa Indonesia yang lain.
Hingga waktu istirahat kedua tiba, bu Isna kembali masuk ke kelasku.
“Mohon perhatiannya sebentar
anak-anak, Ibu akan mengumumkan hasil puisi kemarin” Bu Isna terlihat sangat
serius , dan kami pun menanggapinya dengan serius pula.
“Berdasarkan atas kesepakatan semua
guru bahasa Indonesia, Akhirnya kami memutuskan kelas ini yang akan mewakili
lomba penulisan puisi di tngkat kabupaten”
“Hore…….” Kami pun bersorak ramai
meskipun kami belum tahu siapa yang akan maju ke kabupatan nanti.
“Tenag dulu anak-anak, Ibu kan belum
mengumumkan siapa yang berhasil memenangkan seleksi ini”
“Iya Bu, Siapa yang menang” Kami
begitu tak sabar, kami mendesak bu Isna untuk segera mengumumkan.
“Baiklah, Yang berhak maju ke
tingkat kabupaten adalah……………” Karena bicaranya dipotong- potong kami menjadi
semakin penasaran.
“Dias………... Tepuk tangan untuk
dias!”
Aku
tercengang setengah tak sadar mendengar namaku disebut Aku sungguh tak perceya
kalau yang disebut adalah namaku. Teman-temanku bersorak ramai. Mereka bertepuk
tangan dengan sangat riang. Tapi aku masih saja tak percaya. Ini seperti sebuah
mimpi. Aku mencubit pipiku sendiri, “au” ternyata sakit. Ternyata ini bukanlah
mimpi, ini kenyataan.
Semiggu
setelah pengumuman itu aku benar-benar mengikuti lomba di kabupaten. Aku tak
punya persiapan apa-apa. Aku sebenarnya tak begitu paham tentang dunia puisi.
Yang kulakukan selama seminggu hanyalah mencari ispirasi dan mencoba menuiskan
puisi di beberapa kertas. Tak ada persiapan yang sangat sepesial.
Di
sini aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Ada yang pernah menjuarai
lomba puisi tingkat SD se- Pofinsi. Bahakn ada yang sudah pernah membukukan
beberapa kumpulan puisinya. Tapi kesemuanya itu sama sekali tak menciutkan
semangatku. Aku tetap parcaya diri bahwa di atas langit masih ada langit lagi.
Lomba
pun segera di mulai. Waktu yang ditentukan adalah 30 menit. Sama dengan waktu
yang diberikan bu Isna kemarin. Yang berbeda adalah tempatnya. Kalau kemarin
aku menulis di sebuah tempat yang sangat nyaman dan mudah memusatkan
konsentrasi, sekarang aku di tempatkan di sebuah ruangan yang tertutup yang
menurutku membuat suasana jadi penat. Meskipun di ruangan ini dipasang AC
bagiku itu tak berpangaruh, tetap saja terasa sumpek.
Sebelum
lomba dimulai, masing-masing peserta dipersilakan maju ke depan untuk mengambil
undian tema yang telah ditentukan panitia. Ini benar-benar di luar dugaanku.
Kalau lombanya seperti ini apa mungkin aku bisa menuliskan puisi yang indah?
Aku terus bergeming di dalam hati hingga namku pun di panggil. Hatiku
berdebar-debar, Aku melangkah dengan kaki gemetaran. Keringat dingin bercucuran
ketika aku mualai memilih undian. Dengan sangat hati-hati aku membuka gulungan
kertas yang telah aku pilih. Pertama kali muncul adalah huruf A. Aku kembali
menggulung kertas itu karena rasanya aku belum siap membacanya. Tapi perlahan
aku buka kembali. Dan mataku langsung terbelalak membaca tulisan yang ditulis
di kertas itu. Hanya tiga huruf namun seakan-akan kata itu mampu membunuh
mentalku.
”
Ayah?” Aku harus menulis puisi tentang ayah? Bagaimana mungkin? Aku sugguh tak
percara. Rasanya ingin kurobek kertas itu. Tapi tidak. Aku harus menahan diri.
Aku kembali ke tempat duduk setelah memberikan gulungan kertas itu kepada
panitia. Aku benar-benar binung, aku kehilangan konsentrasi. Aku mempermainkan
penaku, memutar-mutarnya hingga terjatuh di lantai. Segerakuraih kembali pena
itu dan kutulis sebuah kata “Ayah” Pikiranku kembali kacau, aku sobek, aku
cabik kertas itu, aku remas dan aku buang ke tempat sampah hingga berulang
kali. Mungkin orang-orang yang duduk di dekatku merasa heran mengapa aku sampai
seperti itu.
Aku
mulai lelah, sedangkan waktu tak kan berhenti berputar. Aku mencoba melihat ke
luar jendela. Kulihat beberapa pohon bergoyang mengikuti irama angin. Langit
yang cerah kini tertutup oleh himpunan awan tabal. Hujan mengucur amat deras
dan hawa dingin terasa semakin mencekam. Melihat fenomena itu aku segera
teringat pada kisahku.
Ketika
suara gemercik air yang yang mengalir dari sebuah pipa bambu merambat mengikuti
gerakan udara.Menyusup masuk menyusuri rungan telinga bagian tengah hingga
menggetarkan gendang telingaku dan merangsang syaraf-syaraf pendengaran.Otak
pun tak kalah aktif untuk menanggapi
rangsang. Ia segera mengkonfirmasikan kepada mata agar perlahan dapat terbuka.
Ya,begitu
cepat respon yang diberikan mata. Ruh yang semalaman meninggalkan tubuhku entah
ke mana pagi itu kembali bersemayam di tubuhku. Aku pun segera terbangun dari
tidur panjangku, tersadar dari mimpi-mimpiku yang sulit kutafsirkan sendiri.
Entahlah, namanya mimpi terkadang ketika terbangun saja aku sudah lupa.
Aku
segera menunaikan aktifitas rutinku di pagi hari yaitu sholat subuh. Aku tak
kan melupakan itu karena ayahku selalu mengajarkankanku untuk menunaikan sholat
lima waktu. Terkadang aku bingung, Mengapa ayah begitu menekankanku untuk
menunaikan sholat, padahal sekedip mata pun tak pernah kulihat ayahku melakukan
sholat.
Aku
tak pernah menemukan sosok ayahku di pagi hari, bahkan malam hari pun tidak.
Ayah hanya di rumah ketika siang hari saja. Jika menjelang malam dia pasti
keluar entah kemana. Aku ingin sekali menanyakan kemana ia pergi, bahkan aku
ingin sekali ikut. Aku takut sendirian terus di rumah. Tapi setiap aku ingin
bertanya leherku tiba-tiba seperti tercekik. Pita suaraku seakan ikut terjepit
di antara kerongkongan.
Pagi
itu entah mengapa ayah sudah pulang. Dia membawa sebuah tas berwarna hitam yang
digendongnya di punggung. Aku menyapanya lantas mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku lihat
raut muka ayah begitu masam. Guratan-guratan di wajahnya membuat ia terlihat
lebih tua dari umurnya.
“Ayah, Ayah dari mana saja? Tumben
Ayah sudah pulang” Tanyaku pada ayah yang baru meletakkan tasnya di atas kasur.
“Sudahlah kamu tidak usah Tanya
urusan ayah. Itu bukan urusan kamu” Aku terdiam mendengar kata-kata ayah yang
agak membentak.
Aku
sudah paham apa maksut ayah berkata seperti itu. Dia pasti tak mau diganggu,
mungkin ia sedang capek. Segera aku seduh kopi panas di dapur seperti layaknya
seorang istri yang menyeduhkan kopi untuk suaminya tercinta. Aku memang sudah
terbiasa melakukan pekerjaan perempuan semenjak ibuku meninggal. Ketika itu aku
masih berusia lima tahun. Dan kini usiaku hampir lima belas tahun. Aku
mengantar segelas kopi ke kamar ayah dan menaruhnya di meja yang terletak di
samping tempat tidur tempat ayah membaringkan tubuh tanpa berkata sepatah kata
pun.
“Kamu tidak sekolah Yas?” Ayah
bertanya kepadaku ketika aku meletakkan kopi di meja.
“Diyas mau berhenti sekolah saja
Yah, Diyas mau bantu Ayah cari uang”
“Apa? Kamu mau berhenti sekolah?
Lantas kamu mau jadi apa?” Ayah mendongakkan kepala dan beranjak dari tempat
tidurnya. Sedangkan aku hanya terdiam dan menunduk.
“Apa yang ayah berikan selama ini
kurang? Nada bicara ayah terdengar meninggi. Dan aku hanya geleng-geleng.
“Lalu kenapa?, Kenapa kamu mau
berhenti sekolah? Sudah merasa hebat, Iya?”
“Untuk apa Diyas bersekolah kalau
ujung-ujungnya juga cari uang. Buktinya ayah hanya lulusan SD, tapi ayah bisa
cari uang”
“Kamu jangan meniru Ayah. Masih
banyak peluang pekerjaan lain yang jauh lebih baik dari pekerjaan ayah. Maka
dari itu kamu harus tetap sekolah. Belajarlah yang rajin agr menjadi orang yang
sukses”
“Tapi kenapa Yah? Kenapa Diyas tidak
boleh bekerja seperti Ayah? Memangnya apa pekerjaan Ayah sebenarnya?”
“Kamu tidak usah tahu apa pekerjaan
Ayah. Yang penting semua kebutuhan kamu tercukupi”
“Tapi kenapa? “ Aku kmbali mendesak
Ayah. Dan kini giliran ayah yang diam.
“Apa Ayah selama ini berjudi?
Atau………….” Belum selesai aku bertanya ayah sudah menyela perkataanku.
“Tidak, ayah tak pernah berjudi.
Tapi percayalah Diyas, semua ini ayah lakukan demi kamu. Ayah hanya ingin kamu
menjadi orang yang sukses. Ayah ingin kamu mengenyam bangku sekolah selayaknya
anak-anak seusiamu” Aku kembali terdiam merenungi kata-kata ayah.
“Sekarang bersiap-siaplah berangkat
sekolah jangan sampai kamu telat. Ambillah uang ini untuk membayar SPPmu yang
sejak lima bulan lalu belum ayah bayarkan. Sisanya bisa kamu tabung untuk
kebutuhan sekolah kamu. Ayah pergi dulu”
Aku
menerima uang pemberian Ayah yang tanpa menghitung jumlahya. Nampaknya
Ayah sangat marah padaku. Setelah
memberikan uang itu ayah langsung pergi
dengan meninggalkan tasnya di tempat tidur.
Aku
segera tersadar dari lamunanku ketika seorang panitia memberiakan peringatan
“Ayo, waktunya tinggal sepuluh
menit”
Aku
benar-benar bingung, sudah sekian banyak kartas terbuang percuma, namun sepatah
kata pun tak kunjung kutuliskan. Waktu sepertinya tak bersahabat denganku,dia
terus berputar tanpa menghiraukanku. Aku semakin terhimpit denagn situasi. Aku
mencoba mencari bayangan lain tentang sosok ayah, namun aku malah balik
bertanya pada hati kecilku. Sebenarnya seperti apakah sosok ayah yang akan
kuceritakan? Haruskah aku menulis puisi tentang seseorang yang sulit kumengerti
karakternya?
Hatiku
kembali bergejolak, Tiba-tiba saja suasana terasa hening. Di depan mataku
muncul sosok lelaki yang gagah dengan memegang sebuah balon. Lelaki itu
mendekati anak kecil yang sedang menangis. Wajah anak itu persis seperti
wajahku di wakyu kecil. Apa memang itu adalah aku di waktu kecil? Lalu siapakah
lelaki yang bersamaku? Apakah dia ayah?.
“Cup….cup……, jagoan ayah mengapa
menangis?” Diulurkannya kedua tangannya padaku, Aku yang masih belepotan air
mata segera berlari ke pelukannya. Dia pun segera memangguiku di atas pundaknya
sambil memberikan sebuah balon udara berwarna biru.
“Aku diejek teman-temanku, kata
mereka aku tak punya ibu. Hik…hik…hik” Kataku sambil terus menangis
“suadah-sudah, tidak usah menangis.
Kan ada Ayah. Ayah bisa menjadi Ayah sekaligus ibu untuk Diayas”
“Benar Yah?”
“Iya. Makanya Diyas jangan sedih
lagi ya!” Aku mengangguk kegirangan karena aku menemukan sosok ibu dalam diri
ayah.
Kini
aku hampir menuliskan sebuah kata tentang ayah dalam puisiku. Dia adalah ayah sekaligus
ibuku. Ya kata itu yang kini ada dibenakku. Namun ketika aku hampir menulis
kata itu. Sebuah bayangan masalalu kembali melintas di depan mataku.
Ketika
itu malam begitu dingin dan hujan begitu deras. Aku berada di rumah Toni, temanku
yang rumahnya sangat jauh dari desaku.
Sebenarnya aku tidak berniyat menginap disana, namun karena hujan sore aku
memutuskan untuk menginap. Waktu itu tepat pukul dua belas malam, sayp-sayup
aku mendengar suara keributan di luar ruah. Suara itu terdengar makin jelas dan
membuatku semakin tak bisa tidur. Aku mendengar beberapa orang berkejar-kejaran
dan diantara mereka ada yang berteriak.
“Ayo kejar ke arah sana!” Teriakan
itu disusul suara gemuruh hentakan kaki.
“Kita cegat dari sebelah sini!”
Aku
makin penasaran denagn suara-suara itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan
keluar kamr. Rupanya seluruh penghuni rumah mendengar keributan itu dan ikut
keluar kamar.
“Ada apa to Pak, kok rebut-ribut di
luar?” Kata ibu toni pada suaminya.
“Bapak juga tidak tahu.Kalian tunggu
di sini saja, biar bapak yang keluar rumah”
“Toni ikut pak”
“Saya juga ikut” Aku ikutan
nimbrung.
“baiklah, ayo kita keluar, kita cari
tahu ada apa sebenarnya di luar sana” Kata ayah toni kepada aku dan toni.
Kami
segera keluar rumah dan ikut mengejar kerumunan orang yang berlari ke arah
hutan. Di antara kami adajuga bapak-bapak yang lain yang ikut mengejar
kerumunan orang itu.
“Sebenarnay ada apa to pak?” Tanya
ayah Toni pada seorang bapak yang ikut bergabung dengan kami.
“Saya juga kurang tahu pak” Jawab
orang itu sambil terus berlari.
Ketika
kami sudah dekat dengan kerumunan orang yang tadi kami kejar, kami makin
mendengar teriakan mereka denagn jelas.
“Maling…………..”
“Maling…………..”
Kami
pun semakin yakin bahwa yang dikejar oleh mereka itu adalah maling. Sampai di
suatu tempat nampaknya maling itu mulai lelah dan ia pun tertangkap massa. Ia
dihakimi oleh massa seenaknya meskipun ada beberapa orang berusaha mencegahnya.
Karena penasaran, aku pun mendekat. Maling itu berpakaian serba hitam. Wajahnya
juga ditutup dengan kain berwarna hitam. Maling itutampak sudah tak berdaya
karena dihajar oleh massa. Salah seorang membuka tutup wajah maling itu dan
menengadahkan wajahnya. Aku terhentak melihat wajah maling itu yang berlumuran
darah. Kakiku terasa lemas dan tak dapat kurgerakan. Seketika Itu aku berteriak.
“Ayah…………..” Aku mencoba
menolongnya, tapi aku tak sanggup melawan orang yang begitu banyak.
“Berhenti! Jangan pukul ayahku, aku
mohon………….” Aku berteriak dan memohon berulang kali hngga akhirnya mereka
berhenti memukuli ayahku.
“Ayah, bangun yah! Ini Diayas” Aku
segera memeluk ayahku dan mencoba membangunkannya yang sedang terkapar lemah.
Perlahan
ayahpun membuka matanya. Tanganya yang berlumuran darah mencoba mengelus pipiku
“Diyas, maafkan ayah……….” Katanya
dengan ketidak berdayaannya.
“Mengapa ayah lakukan ini? Ternyata
ini pekarjaan ayah selama ini? Yang tak pernah ayah beritahukan kepada Diayas?”
Dalam keadaan seperti itu aku mash sempat memarahi ayah.
“Maafkan ayah Diayas. Ayah hanya
ingin membahagiakan kamu” Nafasnya mulai tersenagl-senagal dan bicaranya pun
tak begitu jelas.
“Ayah hanya ingin kamu sukses. Ayah
tidak ingin kamu menjadi maling seperti ayah” Aku tak bisa membendung air mata
meskipun aku adalah seorang laki-laki. Air mata yang tertampung di kelopak
mataku tba-tiba mengucur sangat deras membanjiri pipiku.
“Satu pesan ayah, janganlah kamu
meniru jejak ayah”
Kata-kata itu adalah kata terakhir
yang keluar dari mulut ayah. Setelah mengucapkan kata-kata itu malaikat maut
segera menjemputnya. Tangan yang membelai pipiku kini terlunglai lemas. Mulutnya
menganga dan matanya pun terbuka lebar seakan dia begitu takut kepada kematian.
Bayangan
itu kembali hilang seiring dengan suara bel yang menunjukkan waktu telah habis.
Aku kembali meletakkan pena yang sejak tadi berada di tanganku. Kertas yang
seharusnya berisi puisi tentang ayah kini malah basah oleh tetesan air mata.
Aku benar-benar tak sanggup menuliskan puisi untuk ayah, karena itu hanya
mengingatkanku pada masa lalu. Aku tak peduli walaupun aku tak bisa memenangkan
lomba itu, atau aku harus dimarahi guru bahasa Indonesiaku sekalipun. Aku tak
ingin mengungkapkan suatu apapun tentang ayah pada orang lain meskipun dengan
puisi. Biarlah aku menjadikan ayah sebagai masa laluku sendiri.
Selesai
Casino games to play at: Slots casino sites, slot machines
BalasHapusIf you are looking to play 제주 출장안마 for the 서귀포 출장마사지 best slot machine games, casinos 인천광역 출장마사지 can be a good choice. These slots are some 청주 출장샵 of 목포 출장안마 the